Jejak Jalur Besi Merangkai Kota Dagang Semarang - Kompas 31 Juli 2021
Kota Semarang di Jawa Tengah merupakan mukadimah perkeretaapian Indonesia. Melalui tiga perusahaan swasta kereta api terbesar di masa kolonial, jejak jalur-jalur besi itu turut membangun kultur Semarang sebagai kota dagang.
Rusmini (63) keluar dari pintu rumahnya yang terbuat dari kayu tua di Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (29/7/2021) siang. Pintu itu masih asli sejak ia pertama menempati rumah itu pada 1987 bersama suaminya, Musdi (71), pensiunan pegawai PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Genteng asbes dan seng rumah Rusmini memanjang dan menyatu dengan rumah-rumah lain yang sederet, seperti bangunan besar yang dipetak-petak menjadi rumah terpisah. Dari ujung deretan bangunan, tampak papan dengan tulisan ”Blok C” di dinding bagian atas. Deretan rumah serupa juga terdapat di sejumlah titik lain yang bersebelahan.
”Ini dulunya asrama pegawai KAI. Kondisinya sejak dulu sudah seperti ini. Kalau dulunya stasiun saya malah kurang tahu. Yang jelas, dari sini dulu sangat terdengar kereta api melintas, tapi sekarang udah banyak bangunan,” ujar Rusmini. Rumah perempuan itu berjarak hanya 100 meter dari rel KA dan satu kilometer dari Stasiun Semarang Poncol.
Menurut peta Semarang yang diterbitkan Technisch Reproductiebureau Broek-Gravemeyer, Rijswijk ZH pada 1917, lokasi rumah Rusmini berada di sekitar Stasiun Pendrian untuk rute Semarang-Cirebon. Rute tersebut mulai dioperasikan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) pada pengujung abad ke-19.
Awalnya, Pendrian adalah stasiun utama milik SCS di Semarang dan menjadi tempat pemberhentian terakhir. Namun, rute tersebut kemudian diperpanjang hingga Stasiun Jurnatan milik perusahaan Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Stasiun Pendrian pun akhirnya nonaktif setelah Stasiun Semarang Poncol, yang bangunannya lebih besar, beroperasi sejak 1914.
Angkut komoditas
Jalur SCS di Semarang itu adalah bagian dari jejak awal perkeretaapian di kota itu. Tjahjono Rahardjo dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Wilayah Semarang mengatakan, ada tiga perusahaan swasta KA di Semarang. Pertama, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yang mulai melakukan pembangunan pada 1864.
Pada 10 Agustus 1867 dilangsungkan perjalanan KA pertama di Indonesia, yakni dari Stasiun Samarang NIS (kini ejaannya menjadi Semarang) hingga Stasiun Tangoeng (kini Tanggung) di Grobogan. Jalur sepanjang 25 km tersebut ditempuh satu jam. Kereta berhenti di Stasiun Allas-Toewa (kini Alastua) di Semarang dan Broemboeng (kini Brumbung) di Demak.
Lihat juga: Jejak Sejarah Kereta Api di Jawa Tengah
Dalam arsip informasi perjalanan KA pertama itu, tertulis ”gemengde trein” atau kereta campuran orang dan barang. ”Dulu, kereta api selalu campuran karena lebih diutamakan untuk mengangkut hasil perkebunan ke Pelabuhan Semarang. Sebelum ada KA, pengangkutan bergantung pada gerobak. Namun, kereta bisa membuat lebih cepat agar kapal tidak perlu menunggu berbulan-bulan,” kata dia.
Pembangunan jalur KA NIS kemudian berlanjut hingga menghubungkan Semarang-Surakarta-Yogyakarta. Pemerintah Hindia Belanda juga memberi izin dengan syarat yakni dibangun juga jalur dari Kedungjati ke Ambarawa untuk kepentingan militer. Jalur itu lalu berlanjut hingga Yogyakarta, melalui, antara lain, Bedono, Secang, dan Magelang.
Perusahaan swasta selanjutnya ialah SJS, yang beroperasi dari Stasiun Jurnatan, Semarang, hingga Juwana (Pati), mulai 1882. Dalam perkembangannya, banyak jalur dibuka, termasuk hingga Rembang-Blora-Cepu. Menurut Tjahjono, selain perkebunan dan hasil hutan, kereta ini juga mengangkut minyak bumi dari Cepu (Blora).
Selain itu, SJS juga mengoperasikan trem atau kereta untuk angkutan lebih ringan untuk perkotaan di Semarang yang jalurnya berada di sisi jalan raya. Rute trem yakni Jurnatan-Jomblang dan Jurnatan-Bulu-Banjir Kanal.
Perusahaan ketiga ialah SCS yang mengoperasikan KA dari Stasiun Pendrian ke Cirebon dan beroperasi akhir abad ke-19. ”SCS pernah disebut sebagai jalur gula karena ke arah Cirebon banyak pabrik gula di sepanjang jalur,” ujar Tjahjono.
Yusi Ratnawati dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dalam ”Perkembangan Perkeretaapian pada Masa Kolonial di Semarang 1867-1901” yang dipublikasikan Journal of Indonesian History Vol 3 Nomor 2 Tahun 2015 menyebut, kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan sarana pengangkutan barang atau hasil produksi.
Baca juga: Mengenal Konsulat Asing di Semarang Tempo Dulu
Pasalnya, pembangunan lintas rel KA bertujuan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman yang diekspor melalui pelabuhan Semarang, untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri, lewat pelabuhan. Sejumlah barang ekspor unggulan, antara lain, gula, kopi, tembakau, kulit pohon kina, lada, minyak kelapa sawit, karet, dan batubara.
Waktu berlalu, Stasiun Pendrian pun tergantikan dengan kehadiran Stasiun Semarang Poncol. Sementara Stasiun Samarang NIS digantikan Stasiun Semarang Tawang.
Keberadaan stasiun beserta jalur kereta api tersebut ikut menunjang posisi strategis Semarang sebagai jantung kota dagang di wilayah pantai utara. Kawasan Kota Lama pun di masa kolonial menjadi pusat kantor dagang perusahaan berkelas global, termasuk milik raja gula Oei Tiong Ham.
Dalam penelitian bertajuk Peranan dan Perkembangan Kereta Api di Jalur Semarang-Solo pada Tahun 1864-1870 (1985), G Ambar Wulan dari Universitas Indonesia menjabarkan, keberadaan jalur-jalur kereta api ikut mendorong daerah-daerah perlintasannya. Tidak hanya pusat kota Semarang, tetapi juga hingga desa-desa. Ia mencontohkan, Desa Kedungjati di Kabupaten Grobogan yang berada di percabangan jalur KA dari Semarang menuju Ambarawa dan Surakarta.
Sebelumnya, Kedungjati hanya desa terpencil dikitari hutan jati. Namun, Sejak pembangunan jalur KA, daerah ini didatangi banyak orang dari Semarang, Demak, Grobogan, dan Salatiga yang mencari pekerjaan. Kedungjati pun berubah menjadi permukiman pekerja yang ramai.
Tak hanya ekonomi kawasan, keberadaan jalur KA juga memperkuat rantai administrasi kolonial dari pusat ke daerah. Pemungutan pajak, inspeksi, pelayanan publik, keamanan, dan perbaikan sarana pertanian, kian membaik di Semarang dan sekitarnya. Pendeknya, peradaban semakin tertata, hingga Semarang menjadi magnet baru berbasis perniagaan.
Baca juga: Raja Chulalongkorn Studi Banding Kereta Api di Semarang
Upaya reaktivasi
Seiring perkembangan peradaban, pamor kereta api kini kembali mencuat seiring pengelolaan yang lebih profesional. Jalur-jalur mati coba kembali dihidupkan. Salah satunya jalur trem atau kereta perkotaan di Kota Semarang. Sebelumnya, trem pernah dioperasikan SJS hingga 1940-an.
Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu mengemukakan, saat ini pihaknya sedang menjajaki permintaan hibah pada Pemerintah Kota Amsterdam, Belanda. Menurut dia, trem yang dimintakan hibah yakni trem yang sudah tak terpakai di Belanda. Kendati sifatnya hibah, Pemkot Semarang tetap menyiapkan pembiayaan shipping atau pengapalan.
”Kami sudah melangkah dan melakukan pertemuan secara virtual. Pak Wali Kota juga sudah membuat semacam surat permohonan ke KBRI di Den Haag. Nantinya, Pak Dubes yang bicara ke Pemerintah Amsterdam. Kami diminta siapkan anggaran pengangkutan. Saat ini kami sedang menunggu RAB (rencana anggaran biaya),” ujar Hevearita.
Pemkot Semarang, lanjut Hevearita, juga telah menyepakati perjanjian kerja sama dengan PT KAI yang akan menjadi operator. Adapun dua trase yang disiapkan sama seperti jalur yang trem di masa lalu. Perbedaannya, kini Stasiun Jurnatan sudah tak ada. Trase I atau barat yakni dari Stasiun Tawang ke Lawang-Bulu, sedangkan Trase II atau timur, yakni Stasiun Tawang-Peterongan.
Lantaran sama persis dengan jalur lama, trem ini direncanakan hanya semacam kereta wisata. ”Ini lebih ke menyusuri jalur cagar budaya, karena titik-titik yang dilewatinya memang jalur yang kaya nilai sejarah,” ujar Hevearita.
Kepala Seksi Perkeretaapian Dinas Perhubungan Jateng FX Puji Kriswanto menuturkan, seiring pelayanan KA yang sudah semakin nyaman, memang banyak daerah meminta agar rel yang sudah mati dihidupkan kembali. Adapun rencana reaktivasi jalur KA yang prosesnya terus berjalan, yakni Semarang-Rembang hingga Bojonegoro, Jawa Timur.
Baca juga: Borobudur Jadi Simpul Pembangunan Jalur Kereta Api
Menurut dia, pada 2020, rencana tersebut sempat tertunda karena pandemi Covid-19. ”Namun, tahun ini dilanjutkan dan sejauh ini sudah laporan pendahuluan. Tahun ini dirampungkan SID (survei investigasi desain). Ada sejumlah opsi, tetapi kemungkinan dengan membuat jalur baru. Dari Stasiun Alastua ke Demak dan akan lebih banyak di di persawahan,” ujarnya.
Sejarah mencatat, perkeretaapian turut membangun peradaban Kota Semarang. Ikhtiar menghidupkan lagi jalur lama, termasuk jalur trem di Semarang, patut dinanti. Jika terwujud, hal itu akan semakin memperkuat citra Semarang sebagai titik nol perkeretaapian Nusantara.
Comments