The Forgotten Death Railway



2008 will mark the 63rd anniversary of the Muaro-Pekanbaru railway, which was finished on 15 August 1945. But this was no ordinary railway. Like its more-well known counterpart, the Thai - Burma Railway, forced labourers built it. The building of this railway has cost the lives of Indonesian romushas and Dutch, British, and Australian prisoners of war (POWs). Some have estimated that more than 10,000 of them are buried alongside the tracks in the middle of the dense Sumatera jungle, though no one will ever know the exact figure. Therefore, this railway is known as the Sumatera Death Railway. Unlike the Burma Railway (which even had a film, “The Bridge on the River Kwai made about it), however, not many people know about the Sumatera Death Railway, not even in Indonesia.

Before World War II the Dutch colonial government had already made plans to construct a railway network connecting the east and west coasts of Sumatera, and eventually covering the whole island. The line connecting Muaro and Pekanbaru was part of the plan. But the obstacles they had to face were formidable; numerous tunnels, viaducts and bridges would need to be build. Considered not yet feasible, the plans gathered dust in the archives of the Nederlandsch-Indische Spoorwegen (Netherlands-Indian State Railways).

When the Japanese occupied Indonesia in 1942 they discovered this plan. The Japanese military authority saw that it was a solution to the problem they were facing. By building a railway line connecting West Sumatera to the East coast they could avoid transporting through Padang and the Indian Ocean which was heavily patrolled by allied warships. The new railway would extend the existing network of the Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Weskust (SSS) by 215 kilometres to the harbour of Pekanbaru. Then, via the Siak River, it would be easy to reach the Strait of Melaka.

Work started in September 1943. Romushas began by building railway facilities and embankments in Pekanbaru. In May 1944 the POWs started to arrive. But some of the romushas and POWs never even made it to Pekanbaru. Many were killed when Allied torpedoes sank the ships transporting them. But most of the workers died of malnutrition, disease and rough treatment.
Meanwhile, railway materials – tracks and rolling stock - were also brought in from other parts of the country, including several locomotives of the former Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), the Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS) and the Samarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).

Because the Japanese were in a hurry to finish the railway the construction of tunnels was avoided, but rivers and ravines still had to be bridged using trees chopped from the tiger infested jungle. The overall quality of construction was very poor. Finally, the line was finished on 15 August 1945, the same day that Japan capitulated. The railway was never used for it intended purpose, carrying coal from the mines in Sawahlunto, West Sumatera, to Pekanbaru. The only trains that travelled along the lines were used to transport the freed POWs. Soon afterwards the line was abandoned. The romushas and POWs who had lost their lives had died in vain.

Today in Lipatkain, Riau, about half way of the line, a monument stands to commemorate them. Neglected and forlorn, nobody seem to care about it.












More information:


http://www.usmm.org/duffylifedeath.html

http://au.geocities.com/frans_taminiau/

http://www.chbss.nl/content.asp?ID=54 (in Dutch)


Jalan Kereta Api Maut yang Terlupakan

Tahun 2008 ini akan menandai 63 tahun usia jalan kereta api Muaro-Pekanbaru, yang selesai dibangun 15 Agustus 1945. Tapi ini bukan jalan kereta api biasa. Seperti jalan kereta api Thai – Birma yang lebih terkenal, jalan kereta api ini dibangun oleh pekerja paksa. Pembangunannya telah memakan korban jiwa romusha Indonesia dan tawanan perang Belanda, Inggris dan Australia. Diperkirakan sekitar 10.000 dikuburkan sepanjang jalan rel di tengah belantara Sumatera, meski tidak aka ada yang tahu jumlah pastinya. Karena itu, jalan kereta api ini dikenal juga sebagai Jalan Kereta Api Maut Sumatera. Tapi tidak seperti Jalan Kereta Api Birma (yang bahkan telah dibuat filmya, “The Bridge on the River Kwai”), tidak banyak orang yang tahu tentang Jalan Kereta Api Maut Sumatera, tidak juga di Indonesia.

Sebelum Perang Dunia II pemerintah kolonial Belanda telah membuat rencana pembangunan jaringan jalan rel yang menghubungkan pantai timur dan pantai barat Sumatera, yang akhirnya akan meliputi seluruh pulau Sumatera. Jalur Muaro ke Pekanbaru adalah bagian dari rencana itu. Tapi hambatan yang dihadapi begitu berat; banyak terowongan, viaduk dan jembatan harus dibangun. Karena belum dianggap layak, rencana itu tersimpan saja di arsip Nederlands-Indische Staatsspoorwegen (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda).

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942 mereka menemukan rencana itu. Penguasa militer Jepang melihatnya sebagai jalan keluar persoalan yang mereka hadapi. Pembangunan jalan rel yang menghubungkan Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera akan membuat jalur transportasi yang menghindari Padang dan Samudera India yang dijaga ketat kapal perang Sekutu. Jalan kereta api baru itu akan memperluas jaringan Staatsspoorwegen te Sumatra’s Weskust (SSS) sepanjang 215 ke pelabuhan Pekanbaru. Dari sana, melalui Sungai Siak akan mudah mencapai Selat Melaka.

Pekerjaan dimulai September 1943. Para Romusha membangun fasilitas perkeretaapian dan badan jalan rel di Pekanbaru. Mei 1944 para tawanan perang mulai berdatangan. Tapi sebagian romusha dan tawanan perang tidak pernah sampai ke Pekanbaru. Banyak yang terbunuh ketika kapal yang mereka tumpangi tenggelam terkena torpedo Sekutu. Tapi sebagian besar mereka meninggal karena kurang makan, penyakit dan perlakuan buruk.

Sementara itu, material kereta api – rel, lokomotif dan gerbong – didatangkan juga dari tempat lain, termasuk beberapa lokomotif bekas Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) and Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).

Karena Jepang terdesak waktu untuk menyelesaikan lintasan ini, pembangunan terowongan dihindari, tapi untuk melintasi sungai dan jurang masih tetap harus dibangun jembatan dari kayu yang ditebang di hutan yang dihuni harimau. Mutu pekerjaan secara keseluruhan sangat rendah. Akhirnya jalan rel ini selesai pada 15 Agustus 1945, bersamaan dengan penyerahan Jepang pada Sekutu. Jalan kereta api ini tidak pernah digunakan untuk tujuannya semula, membawa batubara dari Sawah Lunto, Sumatera barat, ke Pekanbaru. Kereta api yang melalui jalan rel ini hanya kereta api pengangkut tawanan perang yang telah dibebaskan. Tidak lama setelah itu jalan rel ini ditinggalkan begitu saja. Para romusha dan tawanan perang yang mengorbankan nyawa untuk pembangunan jalan rel ini mati sia-sia.

Kini di Lipatkain, Riau, kira-kira dipertengahan jalur itu, berdiri monumen untuk memperingati mereka. Tidak terawat dan merana, tidak banyak orang yang memperdulikannya.

Comments

Ridwan Sanjaya said…
Informatif, Pak! Very interesting article!
ekowinarno57 said…
wah sy baru tau nih, mungkin jika dibuat liputan utk ditayangkan di media elektronik lebih bagus,siapa tau ada investor berminat utk menghidupkan kembali jalur kereta ini utk wisata
syam said…
Menarik, infonya...

*Sedang membayangkan suatu hari bisa keliling sumatra dengan kereta api. sebab, ternyata potongan-potongan jalur kereta tersebar di beberapa titik di Andalas.

Popular posts from this blog

Semarang City Tram

Malaysian Interlude: Preserved Engines at the Muzium Negara, Kuala Lumpur

The Administration Building of the Netherlands East Indies Railway Company in Semarang